19.11.13

Baduy, Keindahan Lain di Nusantara

Setelah 3 hari melalang buana di kampung orang, akhirnya hari ini gue bisa duduk manis di depan layar komputer sambil ditemani secangkir teh hangat. sebenernya hari ini ada KBM di sekolah, tapi berhubung kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk melangkahkan kaki ke sekolah, akhirnya gue memutuskan untuk meliburkan diri, melihat fisik gue yang masih belum stabil karena kecapean. ya, ini berawal ketika gue sudah membulatkan tekad untuk pergi ke Baduy.
Jumat, 15 November 2013
Gue pergi ke baduy bersama temen-temen dari rumpun ips-ipa, guru, serta para pembimbing lainnya. dan perjalanan kali ini, menggunkan moda transportasi tronton TNI, bener-bener anti mainstream broh!
Sebelum berangkat, kita sempat bernarsis-narsis ria di sekolah bersama teman seperjuangan yaitu kelompok 12. formasi sudah lengkap, waktunya foto-foto mumpung masih pagi dan masih semangat.
Selama perjalanan yang penuh liku ini, kita sedikit terganggu dengan tronton yang penuh sesak oleh puluhan tas dan kepala manusia. penderitaan ditambah setelah memasuki kawasan lebak yang jalanannya panuh lika-liku seperti gaya pacaran ala ABG jaman sekarang. bener-bener perjuangan nih. harus turun dari tronton dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ketika jalanannya menanjak. ya, ini dikarenakan tronton tak mampu melewati medan dengan menopang berat muatan kita-kita.
Akhirnya jam 4 sore kita sampai di tempat transit, berada di sana tak lantas membuat kami lupa menghadap kiblat. mengingat perjalanan yang cukup memakan banyak waktu, akhirnya gue menjamak sholat dzuhur dengan ashar. di tempat transit juga menjual berbagai minuman dan makanan ringan yang dijajakan diwarung terdekat, yaa cukup mengobati lelah hati ini. *tsssaah* *kibas rambut*

Setelah sholat kita langsung melajutkan perjalanan menuju Cibeo selama kurang lebih 5 jam. dengan melewati bukit *sing: mendaki gunung, lewati lembah* tubuh seakan berteriak ingin memisahkan diri, terutama dibagian paha dan pundak, karena harus naik bukit dan turun bukit ditambah medan yang kami lalui adalah jalan tanah merah yang alhamdulillahnya masih bersahabat dengan view perbukitan khas Baduy. gue jalan duluan dari rombongan cewek-cewek, karena gue merasa jalan bareng cowok itu lebih menyenangkan, cepat dan nggak ribet. akhirnya gue bertemu dengan rombongan si akang Alvi cs yang sepanjang perjalanan selalu membuat celotehan-celotehan lucu sehingga membuat perjalanan setapak kali ini tidak terlalu berat.
Seketika langit memerah menguning, siluet burung-burung nampak beterbangan mencoba menjadi latar bagi senja yang selalu berulang setiap hari. perjalanan kali ini belum juga menemukan titik cerah untuk sampai ke desa Baduy Dalam. nampaknya gelap sudah mulai terasa dan jalanan pun semakin licin karena lumut dan tanah merah yang becek. tak jarang ada yang terpeleset jatuh sampai berulang kali. begitulah nikmatinya, hiburan yang sekaligus diiringi rasa kegelisahan. saling bahu membahu menolong dan memberi semangat. luar biasa kan kawan, bisa di bayangkan licin medannya seperti apa. sungguh cerita yang akan terus ada di dalam memori ini.

Akhirnya, sampai juga di Baduy Dalam. disini segala bentuk teknologi dan dokumentasi berhenti. tapi siapa peduli? inilah tujuan utama kami. penghapus tanya dari rasa penasaran yang bergemuruh dihati. kedatangan kami di sambut ramah oleh tuan rumah, namanya kang Kasip bersama istri dan ke 3 anaknya yang masih kecil-kecil. disini gue pribadi kembali belajar tentang keramahan, bagaimana mereka menaruh kepercayaan pada orang asing, dan betapa mereka memuliakan tamu. cuaca hujan dan udara dingin, tidak terasa, karena orang Kanekes membalut hati kami, rapat dalam kehangatan.

Sabtu, 16 November 2013
Keesokan harinya, kami berbincang-bincang dengan kang Kasip si empunya rumah. gue pribadi mengajukan beberapa pertanyaan seputar hal mengenai baduy. fyi, di baduy dalam ini ada peraturan bahwa orang-orang asing seperti ras mongoloid, kaukasoid, dan negroid tidak boleh memasuki Baduy Dalam. yang bisa cuma orang-orang pribumi asli Indonesia.

Dan seperti yang sudah banyak diketahui, kehidupan di Baduy Dalam sangat jauh dari kata modernisasi. mereka masih sangat memegang teguh pada adatnya. Misalnya makanan, mereka hanya boleh mengkonsumsi makanan yang tumbuh alami ditanah mereka. kami sekelompok sempat menawarkan beras, sarden dan mie yang dibawa dari Tangerang. namun mereka lebih memilih menggunakan beras hasil panen mereka sendiri, dan menolak beras yang kami bawa. alhasil, itu membuat kami sekelompok makan menggunakan nasi dari tanah baduy asli. Selain itu, penggunaan shampoo, sabun, dan semacamnya pun tidak diperbolehkan di sini. hal lain yang dilarang adalah alat-alat elektronik. Pokoknya segala sesuatu yang modern dilarang di sini.

Filosofi hidup orang baduy adalah hidup apa adanya, sederhana, dan tidak lebih. Jika dilihat semua rumah di baduy sama, begitu juga pakaian dan gaya hidupnya. walaupun ada yang sangat kaya, mereka tidak menonjolkan kekayaan mereka. hal lain yang membuat gue sangat terkagum-kagum dengan orang baduy adalah mereka tidak mau sekolah. alasannya karena jika mereka sekolah dan menjadi pintar, maka mereka akan membantah orang tua dan membodohi orang lain. WOW!!! Buat gue itu benar-benar luar biasa. disaat semua orang berlomba-lomba menjadi pintar, sekolah setinggi-tingginya, saling membodohi, menipu, tapi di sebuah tempat yang nun jauh ada sekelompok masyarakat yang pemikirannya sangat primitif tapi beribu-ribu kali jauh dan lebih mulia dari pada kita yang mengaku sebagai 'orang modern'.

Hal lain yang menarik adalah orang Baduy Dalam tidak boleh menggunakan kendaraan apa pun itu. Makanya tidak heran kalau kita sering menjumpai orang baduy yang datang ke Tangerang dengan berjalan kaki. ketika gue bertanya berapa waktu tempuh untuk sampai ke Tangerang, kang Kasip menjawab hanya butuh satu setengah hari. ia pun bercerita bahwa ia bersama saudara-saudara Baduy Dalamnya pernah mampir ke SMS dan makan di resto mahal, sungguh menggelitik. Tapi untuk orang Baduy Luar tentu saja penggunaan kendaraan diperbolehkan. Melihat kehidupan Baduy Dalam yang seperti itu, ternyata ada juga orang Baduy Dalam yang akhirnya memilih menjadi orang Baduy Luar. namun untuk orang Baduy Luar yang ingin menjadi orang Baduy Dalam lagi, itu sangat mustahil dan tidak di perbolehkan.

Banyak yang kami lakukan sepanjang pagi itu di Baduy Dalam. ada yang keliling desa, melihat wanita-wanita baduy mencuci piring, pergi ke sungai, dan beberapa melewatkan pagi itu dengan berbincang-bincang dengan kawan antar kelompok lain. namun kali ini, sepertinya kami benar-benar harus melanjutkan perjalanan kembali untuk menuju Baduy Luar. padahal setelah dipikir, untuk belajar tentang segalanya itu lebih baik di Baduy Dalam saja, karena memang disitu kita benar-benar belajar tentang kearifan orang Kanekes asli. tentang masyarakat yang sederhana dalam limpahan kekayaan, tentang mereka yang hidup makmur di tanah yang subur.

Terpaksa kami melanjutkan petualangan melintasi jembatan sebagai batas antara wilayah Baduy Dalam dan Baduy luar. salah satu jembatan akar yang dibuat dengan segala bahan baku yang disediakan alam. sederhana namun rumit. tidak ada campur tangan teknologi, kokoh terbentuk dari pola pikir dan imajinasi.
Harus diakui, tidak mudah menempuh perjalan menuju Baduy Luar ini. mau tidak mau, kami harus berusaha menghemat tenaga dengan cara meminta bantuan masyarakat setempat untuk menjadi porter pembawa ransel dan barang-barang yang kami bawa.
Rasa lelah ini membuat tempo perjalanan kami semakin lama semakin melambat, terlalu banyak rehat membuat gue yang baru pertama trekking ini kewalahan terutama badan dan bagian paha. ketika gue mengajukan pertanyaan 'masih jauh nggak?' jawabannya 'masih 2 bukit lagi'. yaaa, di sini satuannya bukit, bukan meter atau km. kenapa bukit? karena banyak tanjakan dan turunan. banyak, panjang, curam dan licin. tapi dimoment seperti ini, tidak gue lewati begitu saja, tentunya kamera dan perlengkapan seadanya ikut andil menjadi saksi bisu perjalanan setapak kali ini ini.
Belum setengah perjalanan gue udah kelelahan dan ngos-ngosan. jalannya aja sudah lunglai dan kalau bisa ingin rasanya guling-guling biar lebih cepat sampai. waktu trekking kami bertemu dengan teman seperjuangan dari kelompok 7 lagi. gue banyak sekali dibantu tiap turunan maupun tanjakan yang licin, tapi kami sangat menikmatinya. kami terus berjalan beriringan laksana semut yang sedang memberikan upeti kepada sang raja. namun, terkadang mereka suka merepotkan, dikit-dikit minta fotoin -_- haduuh nih gue kasih yah, biar nggak minta lagi.
Perjalanan panjang kenangan itu akhirnya berbuah hasil, kami sampai di pemukiman Baduy Luar dan langsung mencari rumah bernomorkan 12 yang akan kami singgahi. terlihat seorang wanita suku Baduy Luar sedang asik menenun kain di depan pelataran rumahnya. karena maksud tidak ingin mengganggu, kami langsung punten masuk kedalam rumah untuk istirahat sejenak.
Sesampainya, setelah menempuh jarak dan waktu yang cukup panjang, gue sempat mengabadikan saat dimana binar kelelahan terlintas diwajah masing-masing dari kami. lantas itu tidak membuat kami merasa lelah untuk bernarsis ria, justru momen inilah media unjuk gigi bahwa kami adalah pejalan kaki yang tangguh.
Kembali lagi. terletak di Baduy Luar bukan berarti di desa ini sudah tersedia listrik dan peralatan elektronik, biarpun lebih modern dari Baduy Dalam tetapi unsur tradisional masih kental terasa seperti rumah yang terbuat dari bambu dan tungku perapian beserta kayu bakarnya.
Ketika malam terakhir ini, kami seperti biasa makan bersama-sama dengan menu nasi, mie, abon, kentang goreng dan sarden. setelah itu, kami istirahat untuk mengobati rasa lelah yang ada. sekiranya, sekitar jam 8 malam gue terbangun dari tidur dan melihat seisi rumah kosong melompong tak ada satupun orang disitu. spontan gue ngibrit lari ketakutan keluar, rupanya ada sedikit pertunjukan angklung buhun yang dipersembahkan oleh masyarakat Baduy Luar. pertunjukan itu berlangsung tepat di depan rumah yang gue singgahi. cukup menghibur walaupun hati gue cemas takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. pasalnya suasana malam itu sungguh mencekam, berbalut aura mistis dibalik kombinasi angklung dan nyanyian suara merdu dari mereka.

Minggu, 17 November 2013
Burung berkicau membuka hari, petanda mentari tersenyum menyapa ramah. raga ini sepertinya ikut menikmati seraya beranjak menuju sungai yang tepat berada di depan penginapan kami. gue segera menuju sungai untuk bersih-bersih. disini, aturan Baduy Luar sedikit lebih longgar dari Baduy Dalam. warga Baduy Luar boleh menggunakan barang modern, seperti sabun, pasta gigi, shampoo dan lain-lain.
   
Setelah selesai membersihkan diri di sungai, saatnya kembali ke penginapan untuk berkemas barang-barang, karena hari ini kami terpaksa harus pergi dari desa Kanekes. tak ketinggalan, gue sempat membelikan cendera mata untuk keluarga serta kerabat yang ada di Tangerang. setelah nego harga dengan si akang jualan, akhirnya jatuh juga harganya walaupun nggak jatuh-jatuh amat, huuuh akangnya pelit, dikurangin 2000 doang, dasaar -_-
   
Setelah itu, gue kembali lagi ke sungai untuk yang terakhir kalinya, sengaja memanjakan mata akan pemandangan dan hamparan sungai yang membentang luas. kali ini, gue nggak mau kelewatan untuk berfoto ria. dibantu kawan gue si apri dan amanda, akhirnya gue bisa beraksi juga di sungai nan jernih dan dingin ini.
   
Ya kira-kira seperti iniliah rona kebahagiaan anak yang tumbuh besar di kota megapolitan ini, sungguh miris dan sangat memprihatinkan karena tidak pernah menyentuh dan merasakan kekayaan alam berupa air sungai yang turun dari mata air gunung asli. dan akhirnya mereka dipertemukan di tempat yang sangat asri dan kaya ini. terimakasih tuhan... *meratapi langit biru*
   
   
Sudah saat nya kembali ke kota Tangerang yg kejam, sembari di iringi hujan yang menguyur tanah yang subur ini. ditambah jalur yang menanjak, menurun dan becek memang melelahkan. alas kaki tidak mampu menahan kaki untuk berbaur dengan tanah dari bumi. kehabisan nafas sudah pasti. tapi itu tidak menyurutkan semangat dan tekad kami untuk berjibaku dengan lumpur dan jalan setapak yang licin ini. Perjalanan singkat ini memang penuh perjuangan dan pengorbanan, tapi tetap menyenangkan. setidaknya bisa membantu mengobati hati yang terluka.
Sungguh ternyata kami mampu menghatamkan kampung Baduy itu dalam tempo 3 hari. lelah sudah pasti, namun semua itu terbayar dengan keindahan pemandangan yang terpampang jelas dimemori ini. dengan melalui proses yang luar biasa, belum lagi cerita seorang kang Sapri menjadi artis di tengah hujan yang melanda ciboleger, belum lagi cerita saat kami tiba di sekolah sampai larut malam. yaaa itu hanya serpihan-serpihan cerita yang ada di catatan ini, jelas kawan-kawan yang lain pasti mempunyai ceritanya sendiri. Pengalamannya sendiri dan hikmahnya sendiri.

Jelas kami dapat pembelajaran dari budaya mereka ini. Adat istiadat dan budaya yang mengakar kuat sampai saat ini, mampu melawan budaya-budaya asing yang masuk. masih jelas kulihat ketulusannya, keluguannya dan keramahannya. mungkin suatu hari nanti bumi Kanekes tidak lagi sama. tapi gue bersyukur pernah belajar tentang kearifan disana. semoga kita selalu bisa menghargai budaya dan alam nusantara yang memang sangat kaya ini. salam rindu lah....

5 komentar:

  1. Indah ya..
    Kunjungan malam gan..
    http://tkj-komunitas-indonesia.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Anonim21.11.13

    Beneer gan, indah... Yang pake kerudung warna pink :3

    BalasHapus
  3. Anonim28.6.14

    bener, sungguh indah yg warna pink, sampai saya salah fokus, maaf ya.
    sungguh indah ciptaan Allah, sayangnya aku tidak bisa memilikinya
    subhanallah

    salam
    Adi

    BalasHapus