12.2.13

Suku Nias

I. DEFINISI SUKU NIAS

Nias terletak ± 85 mil laut dari Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Nias merupakan daerah kepulauan yang memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 27 buah. Banyaknya pulau-pulau kecil yang dihuni oleh penduduk adalah sebanyak 11 pulau, dan yang tidak dihuni ada sebanyak 16 pulau. Luas Pulau Nias adalah sebesar 3.495,40, sejajar dan berada di sebelah barat Pulau Sumatera serta dikeliling oleh Samudera Hindia. Pulau ini terbagi atas empat kabupaten dan satu kota, terdiri atas Kabupaten Nias, Nias Selatan, Nias Utara, Nias Barat dan Kotamadya Gunungsitoli.

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Hukum adat Nias secara umum disebut Fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik, dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini.

II. UNSUR-UNSUR BUDAYA

1. Perlengkapan dan Peralatan

A. Pakaian Adat
Pakaian adat suku Nias dinamakan Baru Oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih. Setiap warna mempunyai filosofi.
B. Rumah Adat
Rumah adat di Nias disebut sebagai Omo Hada. Tiang rumah adat Nias ukurannya besar mempunyai kolong, tangganya tinggi, dindingnya dirakit tanpa paku, tiang dinding diberi relief dengan motif khas Nias. Rumah adat pada masyarakat Nias memiliki bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan kegunaan dan tingkat kedudukannya dalam adat.
C. Makanan Khas
Suku Nias memiliki beberapa makanan khas yaitu, Gowi Nihandro (ubi tumbuk), Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil), Godo-godo (ubi dan singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut), Köfö-köfö (daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur, dikeringkan lalu diasap), Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan), Tamböyö (ketupat), Loma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu), Kazimone (terbuat dari sagu).
D. Minuman Khas
Suku Nias juga memiliki minuman khas yaitu, Tuo Nifarö (minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "Töla Nakhe") yang telah diolah dengan cara penyulingan) dan Tuo Mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa).
E. Alat Rumah Tangga
Fuyu adalah alat untuk menghasilkan api dari bahan kayu. Terdiri atas dua bagian. Bagian bawah sebagai alas, telah dilubangi sedikit. Pada bagian yang telah dilubangi, diletakkan pangkal sepotong kayu bulat dalam posisi berdiri. Bagian atas ditekan dengan tempurung kelapa, lalu diputar dengan menggunakan tali yang telah dililit pada pertengahan kayu bulat tadi. Pergesekkan bagian bawah dan atas, menghasilkan bunga api. Di sekelilingnya diletakkan serbuk kayu yang berbara. Serbuk itu, kemudian dituang ke lantai dan diletakan ‘Rabo’ (serabut tumbuhan yang sudah dikeringkan atau sesuatu yang cepat terbakar) di atasnya, lalu dihembus supaya bernyala. Panjang 25,7 cm dengan tebal 6,9 cm.
F. Alat Produksi
Kisa merupakan salah satu alat untuk menggiling padi, fungsinya sama dengan lesung dan alu. Dibuat dari kayu bulat. Terdiri atas dua bagian, yaitu bagian atas sebagai penggiling, di bagian tengah dibuat lubang seperti lesung hingga tembus ke bawah sebagai tempat sumbu atau poros. Bagian bawah berbentuk cekung dan pada salah satu sisi dibuat pegangan untuk memutar. Bagian kedua sebagai landasan bagian atas. Bentuknya seperti kerucut dan beralur-alur ke samping, sehingga jika bagian atas diputar maka kulit padi yang ada di dalamnya akan terkelupas dan keluar melalui alur. Pada bagian bawah dibuat kaki sebagai penahan agar tidak goyang pada waktu digunakan. Tinggi 52,7 cm.
G. Senjata
Gari Si So Rago adalah pedang pria golongan bangsawan yang telah dewasa. Pada pangkal sarungnya dipasang sekumpulan benda-benda yang dianggap memiliki kesaktian, misalnya: Gigi dan kuku buaya, gigi dan kuku harimau, dll. Mata pisaunya terbuat dari besi dimana kedua sisinya telah ditajamkan. Sering dipergunakan untuk menebas musuh yang berjumlah banyak. Pangkal bawahnya ditancapkan pada gagang kayu yang berbentuk kepala hewan buas. Panjang 65,60 cm. Lalu ada juga senjata lainnya yaitu Tali Baracu, Toho Bulusa, dan Baluse Rane. Tali Baracu adalah alat untuk memukul penjahat atau musuh. Di dalamnya telah dimasukkan berbagai racun atau bisa hewan/ binatang yang berbisa dengan mengucapkan mantra tertentu sehingga kalau mengenai tubuh musuh dapat mati dengan cepat. Toho Bulusa adalah tombak kebesaran bangsawan. Tiangnya dibuat dari pohon nibung sepanjang 222,9 cm dengan diameter 2,5 cm. Matanya setebal 0,33 cm terbuat dari besi, dan ditancapkan pada bagian atas dari pada tiang. Baluse Rane adalah perisai untuk berperang yang terbuat dari kayu ringan. Pada pertengahan bagian bawah telah dilubangi dan diberi tempat pegangan. Pada bagian belakang terdapat ukiran ular berbisa. Panjang 116 cm, lebar 38 cm dan tebal 2 cm.

H. Transportasi
Karena letak geografis pulau Nias yang dikelilingi oleh laut maka alat transportasi digunakan adalah perahu.
Foto: acted

2.  Mata Pencaharian Hidup

A. Pertanian
Bidang pertanian merupakan salah satu mata pencaharian bagi masyarakat Nias, terutama tanaman pangan. Jumlah produksi padi sawah sebesar 62.762 ton dan padi ladang sebesar 650 ton. Pertanian merupakan penunjang bagi keberlangsungan hidup bagi masyarakat Nias untuk saling berbagi di masa-masa susah. Kebersamaan dalam mengolah tanaman pertanian terlihat jelas dalam kegiatan gotong-royong dalam membuka lahan maupun pada saat dilaksanakan penanaman tanaman tersebut, kebersamaan juga terjalin saat panen tiba.

B. Perkebunan
Perkebunan yang ada di Kabupaten Nias adalah tanaman perkebunan rakyat dengan komoditi andalan karet, kelapa, kakao dan beberapa komoditi yang lain seperti kopi, cengkeh, pala dan nilam. Hasil tanaman perkebunan rakyat dari Kabupaten Nias pada umumnya hampir seluruhnya dijual keluar daerah dalam bentuk bahan mentah, melalui para pedagang baik lokal maupun luar daerah.

C. Perhutanan
Luas hutan di Kabupaten Nias tahun 2006 adalah 119.399 hektar terdiri dari hutan lindung seluas 80.836,68 hektar, hutan produksi seluas 4.759,97 hektar, hutan produksi terbatas seluas 26.063,01 hektar dan hutan konversi seluas 7.739,06 hektar.

D. Perikanan
Hasil produksi ikan di Kabupaten Nias selama tahun 2006 adalah 8.995, 61 ton terdiri dari produksi ikan laut sebesar 8.970,31 ton dengan banyaknya nelayan 6.615 orang, prduksi ikan air tawar sebesar 25,30 ton. Ikan yang berasal dari sungai 3,6 ton, ikan rawa sebesar 12,8 ton, ikan kolam 4,8 ton, dan ikan tambak 4 ton.

3. Sistem Kemasyarakatan

A. Kelompok Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku Nias terkecil adalah Sangambatö yaitu keluarga batih, tetapi kelompok yang penting adalah Sangambatö Sebua, yakni keluarga besar virilokal yang terdiri dari keluarga batih senior ditambah lagi dengan keluarga batih putra-putranya yang tinggal serumah, sehingga berupa sebuah rumah tangga dan satu kesatuan ekonomis. Gabungan–gabungan dari Sangambatö Sebua dari satu leluhur disebut Mado atau Gana.

B. Hukum Adat
Hukum adat Nias secara umum disebut Fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.  Fondrakö merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi yang mematuhi Fondrakö akan mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan sanksi. Dengan kata lain, Fondrakö disusun berdasarkan situasi, kehendak dan kesepakatan masyarakat adat. Dengan demikian, Fondrakö  merupakan konsensus yang mesti diterima begitu saja tanpa menyesuaikannya dengan situasi dan kehendak rakyat.

C. Marga
Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Berikut adalah marga-marga yang dipakai oleh Suku Nias. Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö Dachi, Daeli, Daya, Dohare, Dohöna, Duha, Duho, Dakhi, Dohude Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana, Famaugu, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari Halawa, Harefa, Harita, Hia, Hondrö, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, La'ia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Löndu Go'o, Larosa Maduwu, Marulafau, Mendröfa, Maruabaya, Möhö, Marundruri, Mölö Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Ote, Sadawa, Sa'oiagö, Sarumaha, Saro, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saot, Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago.

D. Sistem Perkawinan
Dahulu, perkawinan di Nias telah ditentukan dari sejak kecil (ditunangkan). Tidak diperlukan persetujuan dari anak gadisnya, bahkan setelah ia dipertunangkan sampai hari perkawinannya, si gadis tidak boleh sama sekali menampakkan diri kepada tunangannya dan kaum kerabatnya, tradisi ini masih berlaku sampai sekarang di pedesaan Nias. Artinya, seseorang boleh menikah dengan orang semarganya asalkan ikatan kekerabatan leluhurnya sudah mencapai 10 angkatan keatas (10 generasi). Perempuan dilambangkan sebagai hulu (kehidupan) dan laki laki disimbolkan sebagai hilir (kematian). Untuk memiliki kehidupan, lelaki harus melawan arus sungai (manoso) disebut Soroi Tou, menuju hulu (pihak perempuan) yang berada diatas (ngofi) tepian sungai kehidupan itu. Gambaran melawan arus inilah yang merupakan simbol tradisi jujuran yang harus dibayar oleh pihak lelaki. Jujuran berarti budi baik. Besarnya jujuran (bowo) yang dilaksanakan oleh lelaki, menjadi ukuran harga diri dan kedudukan kasta pihak lelaki tersebut dalam lingkungan masyarakat adat sukunya.

4.    Bahasa

A. Bahasa Lisan
Bahasa Nias atau Li Niha dalam bahasa aslinya adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis darimana asal bahasa ini. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar 1 juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Suku Nias mengenal enam huruf vokal, bukan lima seperti di daerah di Indonesia lainnya. Suku Nias mengenal huruf vokal a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan “e” seperti dalam penyebutan “enam” ). Tak kenal konsonan double, setiap kata selalu diselingi dengan huruf vokal (misal, bilang pastor jadi pasitoro).

B. Bahasa Tertulis
Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan tanda pemisah (') contoh kata Ga'a dan semua kata dalam bahasa Nias asli selalu ditutup oleh huruf vokal.

5.   Kesenian

A. Tari Perang
Tari Perang atau tari Fatele merupakan lambang ksatria para pemuda desa-desa di Nias, untuk melindungi desa dari ancaman musuh, yang diawali dengan Fana’a atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Ronda. Pada saat ronda itu jika ada aba-aba bahwa desa telah diserang oleh musuh maka seluruh prajurit berhimpun untuk menyerang musuh. Setelah musuh diserang, maka kepala musuh itu dipenggal untuk dipersembahkan kepada raja. Persembahan ini disebut juga dengan Binu. Sambil menyerahkan kepala musuh yang telah dipenggal tadi kepada raja, para prajurit itu juga mengutuk musuh dengan berkata “Aehohoi” yang berarti tanda kemenangan setelah di desa dengan seruan “Hemitae” untuk mengajak dan menyemangati diri. Dengan membentuk tarian memutar lalu menyerahkan binu kepada raja. Setelah itu, raja menyambut para pasukan perang itu dengan penuh sukacita dengan mengadakan pesta besar-besaran.
B. Lompat Batu
Lompat batu merupakan salah satu contoh budaya yang paling terkenal dan unik. Pada acara itu, seorang pria melompat di atas sebuah tumpukan batu dengan ketinggian lebih dari 2 meter. Tradisi lompat batu adalah ritual budaya Nias untuk menentukan apakah seorang pemuda itu akan di akui sebagai pemuda yang telah dewasa atau belum. Para pemuda itu akan diakui sebagai lelaki pemberani dan memenuhi syarat untuk menikah apabila dapat melompati batu setinggi 2 meter atau lebih.
C. Tari Maena
Tari Maena sering kali menjadi pertunjukan hiburan ketika suku Nias mengadakan pesta pernikahan adat. Dalam upacara pernikahan adat, pertunjukan tari Maena diselenggarakan ketika mempelai lelaki tiba di rumah mempelai wanita. Tarian ini ditarikan oleh keluarga dari pihak mempelai lelaki untuk memuji kecantikan mempelai wanita dan kebaikan keluarga pihak wanita. Tarian ini menjadi simbol untuk memuji mempelai lelaki beserta keluarganya. Sesekali, tari Maena menjadi tari penyambutan tamu kehormatan yang berkunjung ke Pulau Nias. Dalam sebuah pertunjukan, tari Maena ditarikan oleh beberapa pasang penari lelaki dan wanita. Dari awal hingga pertunjukan usai, gerakan tari Maena didominasi dengan perpaduan gerak tangan dan kaki. Gerakannya terlihat sederhana namun tetap penuh semangat dan dinamis.
D. Tari Moyo
Tari moyo menandakan betapa indahnya sebuah persatuan dalam sebuah perdamaian seperti gerakan yang lemah gemulai, menunjukkan bahwa dalam keteduhan bisa mencapai cita-cita kami bagaikan elang mengarungi angkasa raya.

6. Sistem Pengetahuan

Perkembangan pengertahuan Suku Nias sekarang sudah dapat menerima perbedaan-perbedaan dan budaya asing. Selain itu juga Suku Nias senang bersahabat sesuai dengan sifat budaya yang selalu menjunjung tinggi budaya ramah tamah sebagai warisan nenek moyang Ono Niha.

7.  Sistem Religi

Istilah Lowalangi dipopulerkan oleh seorang misionaris pada tahun 1865. Ia memilih kata Lowalangi sebagai nama Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias. Ada kemungkinan saat itu ia belum mengetahui sebutan tradisi Lawalangi di Nias Selatan. Walaupun demikian istilah ini diterima juga oleh orang Nias Selatan yaitu yang berada di atas langit. Suku Nias tidak mengharapkan firdaus dalam hidup yang akan datang, mereka juga tidak mempercayai adanya neraka. Baik hukuman maupun imbalan tidak mereka harapkan. Karena orang Nias percaya, bahwa semuanya akan berakhir. Inilah yang merupakan imbalan atau hukuman bagi orang Nias. Mereka yang sudah meninggal dipandang terhormat dan terburuk. Selain itu mereka pasrah saja pada nasib mereka dengan hati tenang. Akan tetapi, versi ini diragukan kebenarannya karena pada kenyataannya orang Nias masih percaya pada arwah leluhur dan peranannya bagi kehidupan. Bisa dilihat dari patung-patung (Nadu) yang dianggap sebagai tempat roh leluhur bisa hadir. Selain itu, konsep tentang adanya  dunia orang mati juga dipercaya yaitu Teteholi Ana’a. Bagi orang Nias, setelah meninggal semuanya akan punah. Manusia yang meninggal akan menjadi makanan cacing dan lalat yang besar (O Gulo-kulo, O Deteho) seperti dinyanyikan dalam Hoho yang tertinggal hanyalah “Nama Kebesaran” (Toi Sebua) dan “Kemuliaan” (Lakhomi). Sasaran dari pesta-pesta besar (Owase Fatome) yang dirayakan di Nias pada zaman dulu adalah untuk mendapat nama yang mulia (Toi So-lakhomi). Agama asli orang Nias “Pelebegu” adalah nama agama asli diberikan oleh pendatang yang berarti “penyembah ruh”. Agama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah Molohe Adu (penyembah adu). Sifat agama ini adalah berkisar pada penyembahan ruh leluhur. Meskipun tidak ada konsep kehidupan setelah kematian menurut versi Pastor Johannes M.H, namun dalam kepercayaan ini terdapat praktik penyembahan roh-roh para leluhur (animisme). Para leluhur itu perlu dikenang, terutama atas jasa-jasa mereka. Orang Nias percaya bahwa patung-patung itu akan ditempati oleh roh-roh leluhur mereka, karena itu harus dirawat dengan baik. Menurut kepercayaan umat Pelebegu, tiap orang mempunyai dua macam tubuh, yaitu tubuh kasar dan tubuh halus. Tubuh halus terbagi menjadi dua, yaitu noso (nafas) dan Lumomo-lumo (bayangan). “Jika orang mati botonya kembali menjadi debu, nosonya kembali pada Lowalangi (Allah). Sedangkan Lumo-lumonya berubah menjadi bekhu (roh gentayangan)”. Orang Nias percaya, selama belum ada upacara kematian, bekhu ini akan tetap berada di sekitar jenazahnya atau kuburannya. Agar bisa kembali ke Teteholi Ana’a (dunia roh), setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan dunia orang mati. Dalam perjalanan itu, semakin roh berjalan, jembatannya semakin mengecil bahkan sampai sekecil rambut. Hal itu akan dialami oleh roh-roh yang banyak melakukan kejahatan selama hidupnya. Akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Akan tetapi, bila selama hidupnya ia baik, jembatannya tidak menyempit sehingga perjalanan mulus dan sampai ke Teteholi Ana’a. Dalam paham agama asli ini, roh tersebut jika sudah sampai ke dunianya, akan melanjutkan kembali hidupnya seperti di dunia ini. Kalau dulu semasa hidup dia seorang raja maka di dunia seberang (Teteholi Ana’a) juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap miskin di dunia seberang nanti. Dunia Teteholi Ana’a ini keadaannya “terbalik”. Apa yang baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasaan, orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. Perbedaan dunia sana dengan dunia sini hanya terletak pada keadaan “terbalik”, yaitu jika di sini siang di sana malam demikian juga kalimat dalam bahasa di sana adalah serba “terbalik”. Agama mayoritas di Nias adalah Kristen Protestan. Agama lain  yang ada di Nias, antara lain Islam, Katolik, Buddha, dan Pelebegu (penyembah patung).

sumber: Google, Wikipedia 

9 komentar:

  1. Terima kasih atas informasi dari postingan ini, ini sangat bermanfaat untuk tugas sekolah saya dan saya ijin mengcopy sebgian isi dari postingan ini, terima kasih :-)

    BalasHapus
  2. Anonim12.7.13

    Maaf numpang nanya,
    gmn sech buat aplikasi musik d dalam blog ???

    BalasHapus
  3. Anonim22.4.14

    itu foto nya ambil dari mana ya ?
    setau saya foto di bagian transportasi itu temen saya yg ambil knp gk di kasi caption ya nama fotographernya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas kunjungan dan tanggapannya kak.
      Saya minta maaf "bila" telah mengambil foto tsb tanpa ijin terlebih dahulu.
      jika tidak kerebaratan, saya akan mencantumkan sumber terkait foto tersebut.

      terimakasih :)

      Hapus
  4. nggak bisa di copy ya mbak ?

    BalasHapus
  5. Terima kasih atas informasi nya mengenai suku Nias ini, cukup membantu dalam pembuatan makalah saya :)

    BalasHapus
  6. terima kasih informasinya. sangat membantu tugas sekolah saya. saya izin meng-copy sebagian isinya ,ya. terima kasih:)

    BalasHapus
  7. menurt saya tulisan loca karya ini luar biasa tapi masih banyak yang harus dipelajari lagi mengenai keberagaman kebudayaan suku nias tapi trimakasih karna saya cukup puas dengan loca karya ya

    BalasHapus