I. DEFINISI SUKU NIAS
Nias terletak ± 85 mil laut dari Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Nias merupakan daerah kepulauan yang memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 27 buah. Banyaknya pulau-pulau kecil yang dihuni oleh penduduk adalah sebanyak 11 pulau, dan yang tidak dihuni ada sebanyak 16 pulau. Luas Pulau Nias adalah sebesar 3.495,40, sejajar dan berada di sebelah barat Pulau Sumatera serta dikeliling oleh Samudera Hindia. Pulau ini terbagi atas empat kabupaten dan satu kota, terdiri atas Kabupaten Nias, Nias Selatan, Nias Utara, Nias Barat dan Kotamadya Gunungsitoli.
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Hukum adat Nias secara umum disebut Fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik, dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini.
II. UNSUR-UNSUR BUDAYA
1. Perlengkapan dan Peralatan
A. Pakaian Adat
Pakaian adat suku Nias dinamakan Baru Oholu untuk pakaian
laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut
biasanya berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti
hitam, merah, dan putih. Setiap warna mempunyai filosofi.
B. Rumah Adat
Rumah adat di Nias disebut sebagai Omo Hada. Tiang rumah
adat Nias ukurannya besar mempunyai kolong, tangganya tinggi, dindingnya
dirakit tanpa paku, tiang dinding diberi relief dengan motif khas Nias. Rumah
adat pada masyarakat Nias memiliki bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan
kegunaan dan tingkat kedudukannya dalam adat.
C. Makanan Khas
Suku Nias memiliki beberapa makanan khas yaitu, Gowi
Nihandro (ubi tumbuk), Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis
dan kecil-kecil), Godo-godo (ubi dan singkong yang diparut, dibentuk
bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di
parut), Köfö-köfö (daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur,
dikeringkan lalu diasap), Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan),
Tamböyö (ketupat), Loma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku
bambu), Kazimone (terbuat dari sagu).
D. Minuman Khas
Suku Nias juga memiliki minuman khas yaitu, Tuo Nifarö
(minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias
"Pohon Nira" = "Töla Nakhe") yang telah diolah dengan cara
penyulingan) dan Tuo Mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan
pohon kelapa).
E. Alat Rumah Tangga
Fuyu adalah alat untuk menghasilkan api dari bahan kayu.
Terdiri atas dua bagian. Bagian bawah sebagai alas, telah dilubangi sedikit.
Pada bagian yang telah dilubangi, diletakkan pangkal sepotong kayu bulat dalam
posisi berdiri. Bagian atas ditekan dengan tempurung kelapa, lalu diputar
dengan menggunakan tali yang telah dililit pada pertengahan kayu bulat tadi.
Pergesekkan bagian bawah dan atas, menghasilkan bunga api. Di sekelilingnya diletakkan
serbuk kayu yang berbara. Serbuk itu, kemudian dituang ke lantai dan diletakan
‘Rabo’ (serabut tumbuhan yang sudah dikeringkan atau sesuatu yang cepat
terbakar) di atasnya, lalu dihembus supaya bernyala. Panjang 25,7 cm dengan
tebal 6,9 cm.
F. Alat Produksi
Kisa merupakan salah satu alat untuk menggiling padi,
fungsinya sama dengan lesung dan alu. Dibuat dari kayu bulat. Terdiri atas dua
bagian, yaitu bagian atas sebagai penggiling, di bagian tengah dibuat lubang
seperti lesung hingga tembus ke bawah sebagai tempat sumbu atau poros. Bagian
bawah berbentuk cekung dan pada salah satu sisi dibuat pegangan untuk memutar.
Bagian kedua sebagai landasan bagian atas. Bentuknya seperti kerucut dan
beralur-alur ke samping, sehingga jika bagian atas diputar maka kulit padi yang
ada di dalamnya akan terkelupas dan keluar melalui alur. Pada bagian bawah
dibuat kaki sebagai penahan agar tidak goyang pada waktu digunakan. Tinggi 52,7
cm.
Gari Si So Rago adalah pedang pria golongan bangsawan yang
telah dewasa. Pada pangkal sarungnya dipasang sekumpulan benda-benda yang
dianggap memiliki kesaktian, misalnya: Gigi dan kuku buaya, gigi dan kuku
harimau, dll. Mata pisaunya terbuat dari besi dimana kedua sisinya telah
ditajamkan. Sering dipergunakan untuk menebas musuh yang berjumlah banyak.
Pangkal bawahnya ditancapkan pada gagang kayu yang berbentuk kepala hewan buas.
Panjang 65,60 cm. Lalu ada juga senjata lainnya yaitu Tali Baracu, Toho Bulusa,
dan Baluse Rane. Tali Baracu adalah alat untuk memukul penjahat atau musuh. Di
dalamnya telah dimasukkan berbagai racun atau bisa hewan/ binatang yang berbisa
dengan mengucapkan mantra tertentu sehingga kalau mengenai tubuh musuh dapat
mati dengan cepat. Toho Bulusa adalah tombak kebesaran bangsawan. Tiangnya
dibuat dari pohon nibung sepanjang 222,9 cm dengan diameter 2,5 cm. Matanya
setebal 0,33 cm terbuat dari besi, dan ditancapkan pada bagian atas dari pada
tiang. Baluse Rane adalah perisai untuk berperang yang terbuat dari kayu
ringan. Pada pertengahan bagian bawah telah dilubangi dan diberi tempat
pegangan. Pada bagian belakang terdapat ukiran ular berbisa. Panjang 116 cm,
lebar 38 cm dan tebal 2 cm.
H. Transportasi
Karena letak geografis pulau Nias yang dikelilingi oleh laut
maka alat transportasi digunakan adalah perahu.
2. Mata Pencaharian
Hidup
A. Pertanian
Bidang pertanian merupakan salah satu mata pencaharian bagi
masyarakat Nias, terutama tanaman pangan. Jumlah produksi padi sawah sebesar
62.762 ton dan padi ladang sebesar 650 ton. Pertanian merupakan penunjang bagi
keberlangsungan hidup bagi masyarakat Nias untuk saling berbagi di masa-masa
susah. Kebersamaan dalam mengolah tanaman pertanian terlihat jelas dalam
kegiatan gotong-royong dalam membuka lahan maupun pada saat dilaksanakan
penanaman tanaman tersebut, kebersamaan juga terjalin saat panen tiba.
B. Perkebunan
Perkebunan yang ada
di Kabupaten Nias adalah tanaman perkebunan rakyat dengan komoditi andalan
karet, kelapa, kakao dan beberapa komoditi yang lain seperti kopi, cengkeh,
pala dan nilam. Hasil tanaman perkebunan rakyat dari Kabupaten Nias pada
umumnya hampir seluruhnya dijual keluar daerah dalam bentuk bahan mentah,
melalui para pedagang baik lokal maupun luar daerah.
C. Perhutanan
Luas hutan di Kabupaten Nias tahun 2006 adalah 119.399
hektar terdiri dari hutan lindung seluas 80.836,68 hektar, hutan produksi
seluas 4.759,97 hektar, hutan produksi terbatas seluas 26.063,01 hektar dan
hutan konversi seluas 7.739,06 hektar.
D. Perikanan
Hasil produksi ikan di Kabupaten Nias selama tahun 2006
adalah 8.995, 61 ton terdiri dari produksi ikan laut sebesar 8.970,31 ton
dengan banyaknya nelayan 6.615 orang, prduksi ikan air tawar sebesar 25,30 ton.
Ikan yang berasal dari sungai 3,6 ton, ikan rawa sebesar 12,8 ton, ikan kolam
4,8 ton, dan ikan tambak 4 ton.
3. Sistem Kemasyarakatan
A. Kelompok Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku Nias terkecil adalah Sangambatö
yaitu keluarga batih, tetapi kelompok yang penting adalah Sangambatö Sebua,
yakni keluarga besar virilokal yang terdiri dari keluarga batih senior ditambah
lagi dengan keluarga batih putra-putranya yang tinggal serumah, sehingga berupa
sebuah rumah tangga dan satu kesatuan ekonomis. Gabungan–gabungan dari
Sangambatö Sebua dari satu leluhur disebut Mado atau Gana.
B. Hukum Adat
Hukum adat Nias secara umum disebut Fondrakö yang mengatur
segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Fondrakö merupakan forum musyawarah,
penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi yang mematuhi Fondrakö akan
mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan sanksi. Dengan
kata lain, Fondrakö disusun berdasarkan situasi, kehendak dan kesepakatan
masyarakat adat. Dengan demikian, Fondrakö
merupakan konsensus yang mesti diterima begitu saja tanpa
menyesuaikannya dengan situasi dan kehendak rakyat.
C. Marga
Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah
(patrilineal). Berikut adalah marga-marga yang dipakai oleh Suku Nias. Baeha,
Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya,
Bunawölö Dachi, Daeli, Daya, Dohare, Dohöna, Duha, Duho, Dakhi, Dohude Fau,
Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana, Famaugu, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa,
Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari Halawa, Harefa, Harita, Hia, Hondrö,
Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, La'ia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase,
Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawelu, Laweni,
Lasara, Laeru, Löndu Go'o, Larosa Maduwu, Marulafau, Mendröfa, Maruabaya, Möhö,
Marundruri, Mölö Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Ote, Sadawa,
Sa'oiagö, Sarumaha, Saro, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saot, Taföna'ö, Telaumbanua,
Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe,
Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago.
D. Sistem Perkawinan
Dahulu, perkawinan di Nias telah ditentukan dari sejak kecil
(ditunangkan). Tidak diperlukan persetujuan dari anak gadisnya, bahkan setelah
ia dipertunangkan sampai hari perkawinannya, si gadis tidak boleh sama sekali
menampakkan diri kepada tunangannya dan kaum kerabatnya, tradisi ini masih
berlaku sampai sekarang di pedesaan Nias. Artinya, seseorang boleh menikah
dengan orang semarganya asalkan ikatan kekerabatan leluhurnya sudah mencapai 10
angkatan keatas (10 generasi). Perempuan dilambangkan sebagai hulu (kehidupan)
dan laki laki disimbolkan sebagai hilir (kematian). Untuk memiliki kehidupan,
lelaki harus melawan arus sungai (manoso) disebut Soroi Tou, menuju hulu (pihak
perempuan) yang berada diatas (ngofi) tepian sungai kehidupan itu. Gambaran
melawan arus inilah yang merupakan simbol tradisi jujuran yang harus dibayar
oleh pihak lelaki. Jujuran berarti budi baik. Besarnya jujuran (bowo) yang
dilaksanakan oleh lelaki, menjadi ukuran harga diri dan kedudukan kasta pihak
lelaki tersebut dalam lingkungan masyarakat adat sukunya.
4. Bahasa
A. Bahasa Lisan
Bahasa Nias atau Li Niha dalam bahasa aslinya adalah bahasa
yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu
bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis darimana asal bahasa ini.
Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga
sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar 1 juta orang. Bahasa ini dapat
dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di
dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Suku Nias mengenal
enam huruf vokal, bukan lima seperti di daerah di Indonesia lainnya. Suku Nias
mengenal huruf vokal a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan “e” seperti
dalam penyebutan “enam” ). Tak kenal konsonan double, setiap kata selalu
diselingi dengan huruf vokal (misal, bilang pastor jadi pasitoro).
B. Bahasa Tertulis
Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus
menggunakan tanda pemisah (') contoh kata Ga'a dan semua kata dalam bahasa Nias
asli selalu ditutup oleh huruf vokal.
5. Kesenian
A. Tari Perang
Tari Perang atau tari Fatele merupakan lambang ksatria para
pemuda desa-desa di Nias, untuk melindungi desa dari ancaman musuh, yang
diawali dengan Fana’a atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Ronda. Pada
saat ronda itu jika ada aba-aba bahwa desa telah diserang oleh musuh maka
seluruh prajurit berhimpun untuk menyerang musuh. Setelah musuh diserang, maka
kepala musuh itu dipenggal untuk dipersembahkan kepada raja. Persembahan ini
disebut juga dengan Binu. Sambil menyerahkan kepala musuh yang telah dipenggal
tadi kepada raja, para prajurit itu juga mengutuk musuh dengan berkata
“Aehohoi” yang berarti tanda kemenangan setelah di desa dengan seruan “Hemitae”
untuk mengajak dan menyemangati diri. Dengan membentuk tarian memutar lalu
menyerahkan binu kepada raja. Setelah itu, raja menyambut para pasukan perang
itu dengan penuh sukacita dengan mengadakan pesta besar-besaran.
B. Lompat Batu
Lompat batu merupakan salah satu contoh budaya yang paling
terkenal dan unik. Pada acara itu, seorang pria melompat di atas sebuah
tumpukan batu dengan ketinggian lebih dari 2 meter. Tradisi lompat batu adalah
ritual budaya Nias untuk menentukan apakah seorang pemuda itu akan di akui
sebagai pemuda yang telah dewasa atau belum. Para pemuda itu akan diakui
sebagai lelaki pemberani dan memenuhi syarat untuk menikah apabila dapat
melompati batu setinggi 2 meter atau lebih.
C. Tari Maena
Tari Maena sering kali menjadi pertunjukan hiburan ketika
suku Nias mengadakan pesta pernikahan adat. Dalam upacara pernikahan adat,
pertunjukan tari Maena diselenggarakan ketika mempelai lelaki tiba di rumah
mempelai wanita. Tarian ini ditarikan oleh keluarga dari pihak mempelai lelaki
untuk memuji kecantikan mempelai wanita dan kebaikan keluarga pihak wanita.
Tarian ini menjadi simbol untuk memuji mempelai lelaki beserta keluarganya.
Sesekali, tari Maena menjadi tari penyambutan tamu kehormatan yang berkunjung
ke Pulau Nias. Dalam sebuah pertunjukan, tari Maena ditarikan oleh beberapa
pasang penari lelaki dan wanita. Dari awal hingga pertunjukan usai, gerakan
tari Maena didominasi dengan perpaduan gerak tangan dan kaki. Gerakannya
terlihat sederhana namun tetap penuh semangat dan dinamis.
D. Tari Moyo
Tari moyo menandakan betapa indahnya sebuah persatuan dalam
sebuah perdamaian seperti gerakan yang lemah gemulai, menunjukkan bahwa dalam
keteduhan bisa mencapai cita-cita kami bagaikan elang mengarungi angkasa raya.
6. Sistem Pengetahuan
Perkembangan pengertahuan Suku Nias sekarang sudah dapat
menerima perbedaan-perbedaan dan budaya asing. Selain itu juga Suku Nias senang
bersahabat sesuai dengan sifat budaya yang selalu menjunjung tinggi budaya
ramah tamah sebagai warisan nenek moyang Ono Niha.
7. Sistem Religi
Istilah Lowalangi dipopulerkan oleh seorang misionaris pada
tahun 1865. Ia memilih kata Lowalangi sebagai nama Allah bagi pengikut ajaran
Kristen di Nias. Ada kemungkinan saat itu ia belum mengetahui sebutan tradisi
Lawalangi di Nias Selatan. Walaupun demikian istilah ini diterima juga oleh
orang Nias Selatan yaitu yang berada di atas langit. Suku Nias tidak
mengharapkan firdaus dalam hidup yang akan datang, mereka juga tidak
mempercayai adanya neraka. Baik hukuman maupun imbalan tidak mereka harapkan.
Karena orang Nias percaya, bahwa semuanya akan berakhir. Inilah yang merupakan
imbalan atau hukuman bagi orang Nias. Mereka yang sudah meninggal dipandang
terhormat dan terburuk. Selain itu mereka pasrah saja pada nasib mereka dengan
hati tenang. Akan tetapi, versi ini diragukan kebenarannya karena pada
kenyataannya orang Nias masih percaya pada arwah leluhur dan peranannya bagi
kehidupan. Bisa dilihat dari patung-patung (Nadu) yang dianggap sebagai tempat
roh leluhur bisa hadir. Selain itu, konsep tentang adanya dunia orang mati juga dipercaya yaitu
Teteholi Ana’a. Bagi orang Nias, setelah meninggal semuanya akan punah. Manusia
yang meninggal akan menjadi makanan cacing dan lalat yang besar (O Gulo-kulo, O
Deteho) seperti dinyanyikan dalam Hoho yang tertinggal hanyalah “Nama
Kebesaran” (Toi Sebua) dan “Kemuliaan” (Lakhomi). Sasaran dari pesta-pesta
besar (Owase Fatome) yang dirayakan di Nias pada zaman dulu adalah untuk
mendapat nama yang mulia (Toi So-lakhomi). Agama asli orang Nias “Pelebegu”
adalah nama agama asli diberikan oleh pendatang yang berarti “penyembah ruh”.
Agama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah Molohe Adu (penyembah
adu). Sifat agama ini adalah berkisar pada penyembahan ruh leluhur. Meskipun
tidak ada konsep kehidupan setelah kematian menurut versi Pastor Johannes M.H,
namun dalam kepercayaan ini terdapat praktik penyembahan roh-roh para leluhur
(animisme). Para leluhur itu perlu dikenang, terutama atas jasa-jasa mereka.
Orang Nias percaya bahwa patung-patung itu akan ditempati oleh roh-roh leluhur
mereka, karena itu harus dirawat dengan baik. Menurut kepercayaan umat
Pelebegu, tiap orang mempunyai dua macam tubuh, yaitu tubuh kasar dan tubuh
halus. Tubuh halus terbagi menjadi dua, yaitu noso (nafas) dan Lumomo-lumo
(bayangan). “Jika orang mati botonya kembali menjadi debu, nosonya kembali pada
Lowalangi (Allah). Sedangkan Lumo-lumonya berubah menjadi bekhu (roh
gentayangan)”. Orang Nias percaya, selama belum ada upacara kematian, bekhu ini
akan tetap berada di sekitar jenazahnya atau kuburannya. Agar bisa kembali ke
Teteholi Ana’a (dunia roh), setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara
dunia orang hidup dan dunia orang mati. Dalam perjalanan itu, semakin roh
berjalan, jembatannya semakin mengecil bahkan sampai sekecil rambut. Hal itu
akan dialami oleh roh-roh yang banyak melakukan kejahatan selama hidupnya.
Akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Akan tetapi,
bila selama hidupnya ia baik, jembatannya tidak menyempit sehingga perjalanan
mulus dan sampai ke Teteholi Ana’a. Dalam paham agama asli ini, roh tersebut
jika sudah sampai ke dunianya, akan melanjutkan kembali hidupnya seperti di
dunia ini. Kalau dulu semasa hidup dia seorang raja maka di dunia seberang
(Teteholi Ana’a) juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap
miskin di dunia seberang nanti. Dunia Teteholi Ana’a ini keadaannya “terbalik”.
Apa yang baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasaan,
orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya, semua barang
itu dirusak. Perbedaan dunia sana dengan dunia sini hanya terletak pada keadaan
“terbalik”, yaitu jika di sini siang di sana malam demikian juga kalimat dalam
bahasa di sana adalah serba “terbalik”. Agama mayoritas di Nias adalah Kristen
Protestan. Agama lain yang ada di Nias,
antara lain Islam, Katolik, Buddha, dan Pelebegu (penyembah patung).
sumber: Google, Wikipedia
sumber: Google, Wikipedia
Terima kasih atas informasi dari postingan ini, ini sangat bermanfaat untuk tugas sekolah saya dan saya ijin mengcopy sebgian isi dari postingan ini, terima kasih :-)
BalasHapusSama-sama :)
BalasHapusMaaf numpang nanya,
BalasHapusgmn sech buat aplikasi musik d dalam blog ???
itu foto nya ambil dari mana ya ?
BalasHapussetau saya foto di bagian transportasi itu temen saya yg ambil knp gk di kasi caption ya nama fotographernya
Terima kasih atas kunjungan dan tanggapannya kak.
HapusSaya minta maaf "bila" telah mengambil foto tsb tanpa ijin terlebih dahulu.
jika tidak kerebaratan, saya akan mencantumkan sumber terkait foto tersebut.
terimakasih :)
nggak bisa di copy ya mbak ?
BalasHapusTerima kasih atas informasi nya mengenai suku Nias ini, cukup membantu dalam pembuatan makalah saya :)
BalasHapusterima kasih informasinya. sangat membantu tugas sekolah saya. saya izin meng-copy sebagian isinya ,ya. terima kasih:)
BalasHapusmenurt saya tulisan loca karya ini luar biasa tapi masih banyak yang harus dipelajari lagi mengenai keberagaman kebudayaan suku nias tapi trimakasih karna saya cukup puas dengan loca karya ya
BalasHapus